MER-C PEDULI PALESTINA

Maksud MALU sebagian dari iman.

Seorang gadis yang anggun dan shalihah, secara fitrah akan merasa malu ketika bertemu dan berbicara dengan laki-laki



عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
[رواه البخاري ]

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ucapan kenabian yang pertama kali ditemui manusia adalah jika engkau tidak merasa malu, maka berbuatlah semaumu.” (HR. Bukhari. Shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Ahaditsul Anbiyaa’/3483/Fath])

Fiqhul Hadits (Kandungan Hadits)

1. Warisan Para Nabi

Rasa malu adalah sumber akhlak yang terpuji, juga merupakan pendorong untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Wajar jika ia merupakan peninggalan nabi-nabi terdahulu. Yang tidak terhapus sebagaimana beberapa syariat yang lain.

Lalu terpelihara secara turun temurun. Diwarisi para nabi dari zaman ke zaman hingga akhirnya sampai pada umat Islam. Jika rasa malu adalah warisan dari para nabi dan rasul, juga jelas-jelas disebutkan dalam Al Qur’an, maka kita wajib memelihara rasa malu yang telah diberikan Allah kepada kita. Menjadikannya sebagai akhlak, agar warisan para nabi tersebut tetap terpelihara dan menghiasi kehidupan.

2.    Pengertian Hadits

Terdapat tiga versi penjabaran, ketika mengertikan hadits di atas:

a.    Perintah, dalam hadits ini, menunjukkan ancaman. Seakan Rasulullah bersabda, “Jika kalian tidak memiliki rasa malu maka lakukanlah sekehendakmu, dan Allah swt akan memberimu siksa yang sedih. Perintah seperti ini juga terdapat dalam Al-Qur’an, “Berbuatlah sesuka hati kalian.” (QS.Fushilat : 41)

b.    Perintah, dalam hadits ini, berarti pemberitahuan. Seolah hadits di atas memberitakan bahwa jika seseorang tidak lagi memiliki rasa malu, ia akan melakukan apa saja. Karena yang bisa mencegah perbuatan keji adalah rasa malu. Tidak heran, jika rasa malu telah tiada, ia akan asyik dengan segala perbuatan keji dan munkar.

c.    Perintah, dalam hadits ini menunjukkan Ibahah (dibolehkan). Artinya, jika kalian tidak malu melakukan suatu perbuatan yang tidak dilarang oleh syara’ maka lakukanlah. Karena pada prinsipnya, sesuatu yang tidak dilarang oleh syara’ maka boleh dilakukan.

Namun demikian, yang paling shahih dari tiga pengertian di atas adalah pengertian pertama. Meskipun Imam Nawawi lebih memilih pengertian ketiga dan Ibnu Qutaibah memilih pengertian kedua.

3.    Dua Macam Rasa Malu

a.    Rasa malu pembawaan
Yaitu rasa malu yang sudah dibawa manusia sejak lahir. Rasa malu ini bisa membawa pemiliknya kepada akhlak yang mulia, yang diberikan Allah swt pada hamba-Nya. Jika rasa malu ini terus tumbuh dan berkembang maka seseorang tidak akan melakukan maksiat, perbuatan keji dan berbagai perilaku yang menunjukkan kerendahan akhlak.

Karena itu, rasa malu itu merupakan sumber kebaikan dan salah satu cabang dari keimanan. Rasulullah saw bersabda, “Rasa malu adalah cabang dari cabang-cabang keimanan.”

Rasulullah saw sendiri lebih pemalu daripada seorang gadis dalam pingitan.

Diriwayatkan bahwa Umar ra berkata, “Barangsiapa yang merasa malu maka akan bersembunyi. Barangsiapa yang bersembunyi maka akan berhati-hati dan barangsiapa yang berhati-hati, maka ia akan terjaga.”

b.    Rasa malu yang diperolah melalui usaha.
Yaitu rasa malu yang didapat seseorang setelah ia mengenal Allah swt., mengetahui keagungan-Nya, kedekatan-Nya terhadap hamba-Nya, bahwa Allah swt senantiasa mengawasi hamba-hamba-Nya dan bahwa Allah swt mengetahui apa yang tampak dan apa yang tersembunyi, sekalipun dalam hati.

Seorang muslim yang berusaha mendapatkan “rasa malu” ini, akan memperoleh keimanan dan sikap ihsan yang paling tinggi derajatnya.

4.    Rasa malu yang tercela

“Rasa malu” yang dapat menjadikan seseorang menghindari perbuatan keji adalah akhlak terpuji, karena akan menambah sempurnanya iman dan tidak mendatangkan satu perbuatan kecuali kebaikan. Namun, “rasa malu” yang berlebih-lebihan hingga membuat pemiliknya senantiasa dalam kekacauan dan kebingungan serta menahan diri untuk berbuat sesuatu yang sepatutnya tidak perlu malu untuk melakukannya, maka ini adalah akhlak yang tercela, karena ia merasa malu bukan pada tempatnya.

5.    Malu bagi Muslimah

Wanita muslimah dihiasi rasa malu. Mereka mendampingi laki-laki dalam menjalani kehidupan dan mendidik anak-anak dengan fitrah kewanitaan yang masih bersih. Hal ini sebagaimana diisyaratkan Allah swt dalam Al-Qur’an, ketika bercerita tentang salah satu putri Nabi Syu’aib yang diperintahkan untuk memanggil Nabi Musa,

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu, berjalan dengan malu-malu, ia berkata, “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” (QS.Al-Qashash :25)

Putri Syu’aib as berjalan dengan penuh rasa iffah (kebersihan jiwa) ketika bertemu seorang laki-laki. Berjalan dengan penuh rasa malu dan jauh dari usaha untuk menarik perhatian. Meskipun demikian, ia tetap mampu menguasai diri dan menyampaikan apa yang harus disampaikan dengan jelas. Inilah rasa malu yang bersumber dari fitrah yang suci.

Seorang gadis yang anggun dan shalihah, secara fitrah akan merasa malu ketika bertemu dan berbicara dengan laki-laki. Akan tetapi karena kesucian dan keistiqamahannya ia tidak gugup. Ia berbicara dengan jelas dan sebatas keperluan.

Adapun wanita yang senantiasa bersolak, pergi tanpa muhrim, bahkan bercampur baur dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, tanpa ada keperluan yang dibolehkan secara syar’i, maka wanita seperti ini jelas bukan hasil didikan Al-Qur’an ataupun Islam.

6.    Buah dari rasa malu

Rasa malu akan membuahkan Iffah (kesucian diri). Maka barangsiapa yang memiliki rasa malu, hingga dapat mengendalikan diri dari perbuatan buruk, berarti ia telah menjaga kesucian dirinya. Rasa malu juga akan membuahkan sifat Wafa’ (selalu menepati janji). Ahnaf Ibnu Qois berkata, “Dua hal yang tidak akan berpadu dalam siri seseorang: dusta dan harga diri. Sedangkan hargag diri akan melahirkan sifat Shidiq (berkata benar), wafa’, malu, dan iffah.

7.    Lawan dari Rasa Malu

Kebalikan dari rasa malu adalah rasa tidak tahu malu. Ini adalah sifat yang tercela, karena mendorong pemiliknya untuk melakukan kejahatan, tidak peduli dengan segala cercaan, hingga ia melakukan semua kejahatannya dengan terang-terangan.

Rasulullah saw bersabda, “Semua hambaku akan dimaafkan, kecuali orang yang melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan.”

Orang yang tidak memiliki rasa malu kepada Allah swt dan kepada sesama manusia, tidak akan jera dari melakukan kejahatannya kecuali dengan hukuman yang tegas dan keras. Karena, ada sebagian orang yang memiliki rasa takut dan tidak memiliki rasa malu.

8.    Tugas Orang Tua dan Para Pendidik

Orang tua dan para pendidik berkewajiban untuk menanamkan rasa malu secara sungguh-sungguh. Untuk itu, hendaknya mereka menggunakan berbagai metode pendidikan yang baik, seperti mengawasi perilaku anak-anak dan segera meluruskan jika melihat perbuatan yang bertentangan dengan rasa malu, memilihkan teman bermain yang baik, memilihkan buku-buku yang bermanfaat, menjauhkan dari berbagai tontonan yang merusak, dan menjauhkan dari omongan yang tidak baik.

9.    Rasa malu adalah kebaikan.

Jadi, semakin tebal rasa malu yang dimiliki, maka semakin banyak kebaikannya, dan semakin sedikit rasa malu yang dimiliki, maka semakin sedikit kebaikannya.

10.    Dilarang MALU untuk Kebenaran

Tidak perlu ada rasa malu, saat mengajarkan masalah-masalah agama dan saat mencari kebenaran. Allah swt berfirman, “Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (Al-Ahzab : 53).


Referensi : Al Wafi    dari www.percikaniman.org