MER-C PEDULI PALESTINA

Apakah maskawin harus seperangkat alat sholat?

Ass. Wr Wb Ustadz,Setiap kali saya menghadiri akad nikah, hampir setiap pengantin pria memberikan maskawinnya berupa ”seperangkat alat shalat” di samping benda lain seperti perhiasan atau uang. Apakah maskawin itu harus selalu pakai seperangkat alat shalat?



Walaikumsalam Wr Wb.

Mahar atau maskawin merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan. Seorang laki-laki wajib menyerahkan maskawin kepada wanita yang akan dinikahinya. Hal ini dijelaskan pada ayat berikut.

“Berikanlah maskawin kepda wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian yang wajib ...” (Q.S. An-Nisa 4: 4)

Jadi, maskawin merupakan hak istri. Seorang calon istri berhak menetapkan jenis maskawin yang diinginkannya. Tidak ada satu dalil pun yang menjelaskan bahwa maskawin harus disertai dengan seperangkat alat shalat. Apa pun maskawinnya diperbolehkan, selama halal dan istri rela menerima. Bahkan, zaman Rasulullah ada wanita yang rela dinikahi dengan maskawin pengajaran beberapa ayat Al Quran. Silakan cermati hadis berikut.

Sahl bin Sa’ad menjelaskan bahwa Nabi saw. pernah didatangi seorang perempuan, lalu dia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya menyerahkan diri kepada Tuan untuk dinikahi.” Lalu ia berdiri lama sekali. Kemudian tampil seorang laki-laki dan berkata, “Ya Rasulullah, kawinkanlah saya kepada perempuan ini seandainya Tuan tiada berhasrat kepadanya.” Rasulullah menjawab, “Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk membayar mahar kepadanya?” Jawabnya, “Saya tidak punya apa-apa kecuali sarung yang sedang saya pakai ini.” Nabi berkata lagi, “Jika sarung tersebut engkau berikan kepadanya, tentu engkau duduk tanpa berkain lagi, karena itu carilah sesuatu.” Lalu ia pun mencari, tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Rasulullah bersabda kepadanya, “Apakah kamu hafal sejumlah ayat Al Quran?” Ia menjawab, “Ya, saya hafal surat anu, surat anu.” Lalu Nabi bersabda, “Sekarang kamu berdua saya nikahkan dengan mahar Al Quran yang ada padamu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).    

http://undanganmenikah.com/wp-content/uploads/2008/11/nikah-mas-kawin.jpg Bertolak dari keterangan ini, jelaslah bahwa maskawin atau mahar bisa berupa uang, benda berharga, atau apa saja yang bermanfaat dan maslahat, yang diberikan calon suami kepada calon istrinya, bahkan bisa dalam bentuk jasa seperti dalam keterangan di atas, yaitu berupa jasa mengajarkan sejumlah ayat Al Quran. Dengan demikian, maskawin tidak harus selalu ”seperangkat alat shalat”, apa saja boleh asalkan halal dan wanita yang akan dinikahi rido.

Wallahu A’lam. dari www.percikaniman.org

Menggunakan selaput dara palsu?

Di penghujung 2009 lalu, kita dikejutkan dengan masuknya “barang” impor dari China. Bukan sembarang barang, yang diimpor dari China kali ini adalah selaput dara (hymen) palsu. Banyak kontroversi mengenai hal ini dan saya ingin tahu bagaimana hukum penggunaan selaput dara palsu tersebut dalam Islam. Mohon jawabannya, Ustadz. terima kasih...



Saudara yang dirahmati Allah, saya akan mulai membahas pertanyaan Anda dengan hukum operasi selaput dara.

Operasi selaput dara adalah tindakan medis yang bertujuan untuk memperbarui keperawanan seorang perempuan yang sempat terganggu atau rusak oleh berbagai sebab.

Bila kita perhatikan dengan saksama, masalah seperti ini muncul ke permukaan sebagai imbas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut hemat saya, permasalahan ini masuk dalam ranah muamalah yang tinjauan hukum fikihnya dikembalikan pada kaidah-kaidah umum yang telah disepakati para ulama dengan menggali dalil-dalil yang dapat dijadikan rujukan mengingat permasalahan seperti ini tidak secara rinci dan tekstual dibahas dalam ayat Al-Quran dan hadits Nabi.

Ada dua pendapat yang muncul di antara para ulama mengenai hal ini.

Pendapat pertama melarangnya secara mutlak sedangkan yang kedua hanya membolehkannya dalam keadaan tertentu. Berdasarkan beberapa sumber yang saya ketahui, operasi selaput dara termasuk dalam katagori transplantasi organ tubuh yang dengan jelas dilarang dalam Islam.

Ini merujuk pada salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah, Asma, Ibnu Masud, Ibnu Umar, dan Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. melaknat wanita yang menyambung rambutnya, baik dengan rambut sendiri atau rambut orang lain.

Jika hanya dengan menyambung rambut saja tidak boleh (padahal hanya merupakan organ luar yang secara kasat mata tidak begitu banyak menimbulkan madharat), apalagi mengoperasi selaput dara dan menggantinya dengan alat tertentu.

Sudah barang tentu hal ini akan banyak mendatangkan kemadharatan seperti terbukanya aurat, peluang penyalahgunaan, dan lain sebagainya.

Akan tetapi dalam Islam, sesuatu yang terlarang untuk dilakukan dapat berubah menjadi diperbolehkan jika ada unsur kemadharatan kalau hal tersebut tidak dilakukan. Seperti donor darah yang hukum asalnya terlarang. Jika tidak dilakukan (donor darah), tentu akan menyebabkan banyak orang meninggal karena kekurangan darah. Karena itulah kemudian donor darah diperbolehkan secara hukum.

Demikian pula halnya dengan penggantian selaput dara. Jika memang ada yang menyebabkan madharat jika tidak dilakukan, maka bisa saja operasi tersebut dilakukan. Hanya saja, sampai saat ini saya tidak melihat adanya unsur kemadharatan tersebut.

Penggantian selaput dara, terlebih digantikan dengan perangkat palsu, mungkin saja dapat membahayakan penggunanya. Bahkan bisa saja penggantian tersebut berpeluang besar untuk disalahgunakan demi kepentingan sekelompok orang. Wallahu a’lam.

http://percikaniman.org/images/banner/banner-tpfpi-2009.jpg 

dari www.percikaniman.org

Narsis dan lebay di facebook.

Ustadz Aam, mohon diterangkan tentang “Isrof”, apakah sikap-sikap narsis, lebay, mengumumkan terus-terusan kegiatan diri sendiri di facebook dan lain-lain, termasuk kategori Isrof ? terima kasih....



Pada prinsipnya ‘berlebihan’ dalam berbagai hal itu tidak dibenarkan agama. Jika kasusnya dalam mengupdate status di FB, dilihat dulu konteksnya. Jika memberikan efek yang buruk, sombong, memberikan celah maksiat, kebohongan atau bahkan mendholimi orang lain maka harus di stop.

Tapi misalnya berisi tausiah/nasehat kepada diri dan orang lain, jadwal-jadwal dakwah, sharing materi agama dan kebaikan..kenapa tidak?

Jangan terlalu tergesa-gesa dan pikirkan semua hal sebelum bertindak menulis apapun termasuk di FB.

Ingatlah juga, bahwa menjadikan waktu hanya sia-sia juga bukan merupakan sifat-sifat orang mukmin.

http://percikaniman.org/images/banner/banner-tpfpi-2009.jpg

Sumber :
- Tanya jawab MPI tgl 7/3/2010
- Download Materi MPI
http://percikaniman.org/data/mpi/MPI-7-3-2010.pdf
dari www.percikaniman.org

Adakah persamaan antara jin dan manusia.

Ustadz, mohon dijelaskan adakah persamaan antara manusia dan jin? Bagaimana hukum bekerja sama dengan jin untuk kepentingan yang baik, misalnya menangkap penjahat?
terima kasih...




Allah swt. menciptakan alam semesta dengan segala isinya tidak sia-sia, namun punya tujuan dan hikmah,

Rabbana maa khalaqta hadza baatila [Ya Allah, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia] (QS. Ali Imran 3:191).

Setiap mahluk yang diciptakan-Nya memiliki keunikan masing-masing, termasuk di dalamnya manusia dan jin yang memiliki persamaan dan perbedaan yang merupakan bagian dari keunikan kreasi Allah Tuhan Yang Maha Agung.

Di antara persamaannya adalah :

1. Diciptakan untuk beribadah kepada-Nya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S.Adz-Dzaariyat 51 : 56)

2. Memiliki kemampuan berpikir Suatu waktu Rasulullah saw. sedang membaca Al Qur’an, lalu datanglah selekompok jin mendengarkannya. Selesai menyimak, para jin itu dapat mengambil kesimpulan. “Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Qur’an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami.” (Q.S.Al-Jin 72 : 1-2) Para jin mampu menyimpulkan apa yang telah didengarnya, ini menunjukkan bahwa mereka berpikir. Tanpa kemampuan berpikir, tidak mungkin bisa mengambil kesimpulan.

3. Ada yang shaleh dan ada pula yang kufur Sama halnya dengan manusia, jin ada yang shaleh ada pula yang kufur, ada yang taat dan ada juga yang membangkang. “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shaleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (Q.S.Al-Jin 72 : 11)

4. Mendapatkan imbalan dan sanksi Konsekuensi kesalehan adalah imbalan (sorga) dan akibat pembangkangan adalah sanksi (neraka). Jin ada yang masuk neraka ada pula yang masuk sorga, sama seperti manusia. “Adapun yang menyimpang dari kebenaran, mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam. Dan jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan Islam, benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (Q.S.Al-Jin 72 : 15-16)

5. Berjenis kelamin (gender) Pada alam manusia dikenal jenis kelamin laki-laki dan perempuan (gender), ternyata dalam dunia jin pun dikenal gender tersebut. “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Q.S.Al-Jin 72 : 6) Secara eksplisit ayat ini menyebutkan jenis kelamin jin yaitu laki-laki. Kalau ada jin laki-laki, berarti ada jin perempuan.

6. Berketurunan Apabila jin itu mengenal gender (jenis kelamin), maka logis kalau ada ayat yang menjelaskan bahwa mereka itu berketurunan. “Patutkah kamu mengambil iblis (jin yang durhaka) dan keturunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim.” (Q.S.Al-Kahfi 18 : 50) Kata “dan keturunannya”, mencerminkan bahwa jin berketurunan seperti manusia.


Itulah di antara persamaan jin dan manusia. Sekarang kita identifikasi perbedaannya.

1. Fisik jin tidak bisa dilihat manusia “… Sesungguhnya ia (iblis/jin) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al-A’raf 7 : 27)
Berdasarkan ayat ini, imam Syafi’i berpendapat, “Kufur, orang yang mengaku pernah melihat jin”. Jadi, bentuk jin yang sesungguhnya tidak akan pernah bisa dilihat oleh siapapun kecuali oleh para nabi yang diberi mukjizat seperti Sulaiman a.s. Namun sejumlah riwayat menerangkan, kadang-kadang jin menampakkan diri dalam bentuk binatang, misalnya anjing, ular, dll. Jadi, kalau ada yang mengaku pernah melihat jin, sesungguhnya yang dilihat itu bukanlah rupa/bentuk aslinya.

2. Jin berumur lebih panjang Iblis (jin yang durhaka kepada Allah) pernah minta umur yang panjang hingga kiamat, Allah swt mengabulkan permohonannya. “Iblis berkata: Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka (manusia) dibangkitkan.” Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk yamg diberi tangguh.” (QS. Al-A’raf 7:14-15) Merujuk pada ayat ini, sejumlah ahli tafsir berpendapat bahwa usia jin akan lebih panjang dibandingkan manusia. Kalau kita cermati persamaan dan perbedaan antara jin dan manusia, ternyata persamaannya lebih banyak. Jadi, cukup logis kalau diantara manusia ada yang minta pertolongan kepada jin. “Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Q.S.Al-Jin 72 : 6) Ayat ini dengan tegas menyebutkan siapa yang meminta pertolongan kepada jin, maka jin-jin itu menambah dosa dan kesalahan. Jadi hukumnya haram ninta tolong atau bekerja sama dengan jin walaupun untuk kebaikan.



Kesimpulannya, jin dan manusia merupakan mahluk Allah yang memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya lebih banyak ketimbang perbedaannya. Karena itu mungkin saja manusia melakukan kerjasama dengan jin, namun perbutan seperti ini hanya akan menambah dosa dan kesalahan. Jadi, cukup logis kalau para ulama salaf mengharamkannya walaupun untuk tujuan kebaikan. Wallahu A’lam.
dari www.percikaniman.org

Beda antara zakat maal, penghasilan dan profesi.

Ustadz pembimbing yang terhormat. Apa bedanya antara zakat maal, zakat profesi dan zakat penghasilan.?? teroma kasih..

Zakat Mal artinya zakat harta. Umumnya digunakan untuk membedakan dengan zakat fithrah. Zakat mal/harta itu ada banyak macamnya antara lain :
1. Zakat Emas & Perak
2. Zakat Perdagangan
3. Zakat Uang Simpanan
4. Zakat Pertanian
5. Zakat Investasi
6. Zakat Ma‘din /Hasil Tambang
7. Zakat Hadiah
8. Zakat Ternak
9. Zakat Profesi/Penghasilan

Semuanya memiliki cara, aturan dan ketentuan tersendiri dalam perhitungannya.
Khusus untuk zakat profesi yang sahabat tanyakan, zakat ini disebut juga zakat penghasilan. Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi) bila telah mencapai nisab. Profesi dimaksud mencakup profesi pegawai negeri atau swasta, konsultan, dokter, notaris, akuntan, artis, wiraswasta, dll.

Dasar Hukum Syari'at
(QS. Adz-Dzaariyaat (51): 19)
(QS Al Baqarah: 267)
Hadist Nabi SAW:
"Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu".(HR. AL Bazar dan Baehaqi)

Ketentuan sebagai berikut:
Nisab zakat pendapatan / profesi setara dengan nisab zakat tanaman dan buah-buahan sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah setara dengan 520 kg beras, kadar zakatnya sebesar 2,5 %. Waktu untuk mengeluarkan zakat profesi pada setiap kali menerima diqiyaskan dengan waktu pengeluaran zakat tanaman yaitu setiap kali panen. "Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya ( dengan dikeluar kan zakat nya ). ( QS : Al-An'am : 141 ).

Namun ada dua pendapat yang berbeda dalam menentukan nisab ini, yaitu apakah dari jumlah penghasilan kotor selama setahun? Atau dari penghasilan bersih setelah dipotong dengan biaya kebutuhan pokok?
Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menyebutkan bahwa untuk mereka yang berpenghasilan tinggi dan terpenuhi kebutuhannya serta memang memiliki uang berlebih, lebih bijaksana bila membayar zakat dari penghasilan kotor sebelum dikurangi dengan kebutuhan pokok dan bila sahabat termasuk orang yang bergaji pas-pasan bahkan kurang memenuhi standar kehidupan, kalaupun sahabat diwajibkan zakat, maka penghitungannya diambil dari penghasilan bersih setelah dikurangi hutang dan kebutuhan pokok lainnya.

Contoh perhitungan:
- Nisab sebesar 520 kg beras, asumsi harga beras 2000 jadi nilai nisab sebesar 520 x 2000 = 1.400.000
- Jumlah pendapatan perbulan Rp 2.000.000,-
- Zakat atas pendapatan (karena telah mencapai nisab ) 2,5 % x 2.000.000,- = 50.000,-

1. Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor seara langsung, baik dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar: 2,5% X 3.000.000=Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun.

2. Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp 1.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar : 2,5% X (1.500.000-1.000.000)=Rp 12.500 per bulan atau Rp 150.000,- per tahun.

Wallahu A`lam Bish-shawab. dari www.percikaniman.org

Bersumpah ketika mendapat tuduhan.

Ustadz, beberapa waktu lalu, kita sering melihat di televisi banyak pejabat melakukan sumpah untuk mengelak dari tuduhan yang diarahkan kepadanya. Bagaimanakah sebenarnya bersumpah seperti itu menurut Islam? Mohon dijelaskan..terima kasih..



Saudara penanya yang dimuliakan Allah, ajaran Islam merupakan ajaran yang mulia, sempurna, dan komprehensif (syumuliyyah). Tidak ada satu pun persoalan hidup kecuali Islam mampu menyelesaikannya (baik secara tersurat maupun tersirat, tekstual maupun kontekstual), termasuk masalah yang Anda tanyakan yaitu tentang sumpah.

../images/mapi/mapi-3-2010.jpgDalam Islam, sumpah tidak hanya dilakukan oleh manusia. Acapkali, Allah pun melakukan sumpah sebagaimana kita ketahui dalam banyak sekali ayat Al-Quran. Sumpah bagi Allah semata untuk menekankan berita yang disampaikan dan menguatkan kandungan ungkapan yang dimaksud. Sumpah bagi manusia bertujuan untuk mengikat diri agar tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu. Dalam keadaan tertentu, boleh-boleh saja sumpah dilakukan untuk menguatkan pengakuan yang saat itu diucapkan.

Mengingat luasnya pembahasan mengenai sumpah, di sini lebih baik kita fokuskan permasalahan pada bagaimana Islam memandang sumpah yang dilakukan para pejabat terkait tuduhan yang diarahkan kepadanya. Pada prinsipnya, siapa pun yang melakukan sumpah (baik pejabat ataupun rakyat), dia akan terkena aturan yang digariskan Islam dalam bersumpah. Beberapa rambu yang semestinya diperhatikan berkaitan dengan sumpah antara lain:

1. Meluruskan niat,
bahwa sesungguhnya sumpah yang dilakukannya adalah semata demi mempertahan-kan kebenaran sehingga dapat menghindarkan diri dari tujuan-tujuan yang salah seperti ada keinginan untuk menarik simpati banyak orang dan lain sebagainya.

2. Bersumpah dengan menyebut nama Allah dan menjauhi bersumpah degan menyebut nama selain Allah.
Rasulullah Saw bersabda,“Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut nama) selain Allah, maka sungguh ia telah kafir atau musyrik.” (H.R. Tirmidzi).

3. Keridhoan mengucap sumpah atas nama Allah.

”Janganlah kamu bersumpah dengan (menyebut nama) bapak-bapakmu! Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut nama) Allah, maka hendaklah ia jujur. Dan barangsiapa diminta bersumpah dengan (menyebut nama) Allah, maka hendaklah ia ridho; barang¬siapa yang tidak ridho ke¬¬¬¬pa¬¬da Allah, maka bukanlah ia termasuk orang yang dekat dengan Allah.” (H.R. Ibnu Majah)

4. Sumpah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh
Sebagai penguat untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatu.

5. Sumpah dilakukan untuk hal-hal yang baik.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa mengucapkan suatu sumpah lalu dia melihat selainnya lebih baik daripada ia, maka hendaklah dia mengerjakan yang lebih baik itu, dan hendaklah dia menahan sumpahnya dengan membayar kifarat!” (H.R. Muslim)

6. Tidak melakukan sumpah secara te-rus menerus.
Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah Saw., Beliau bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya seorang di antara kamu terus-menerus bersumpah di tengah keluarganya adalah lebih besar dosanya menurut pandangan Allah daripada membayar kifaratnya yang telah diwajibkan Allah.” (H.R. Muttafaqun’alaih)

7. Memenuhi kifarat sumpah jika ternyata sumpahnya salah.
Kifarat dilakukan dengan salah satu dari tiga cara berikut ini: (a) Memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa kita berikan kepada keluarga kita. (b) Atau memberi pakaian kepada mereka. (c) Atau memerdekakan seorang budak.

Berdasarkan pada rambu-rambu di atas, maka seyogianya siapa pun yang bersumpah (apalagi hal itu diucapkan di hadapan publik), semestinya benar-benar berangkat dari kejujuran dan keadaan yang memang membutuhkan diucapkannya sumpah.

Perlu diingat bahwa konsekuensi hukum bila sumpah tersebut dilanggar akan berakibat sangat fatal, bukan saja di dunia tapi juga kelak di hadapan pengadilan Allah Swt.

Wallahu a’lam     dari www.percikaniman.org

Bagaimana agar do'a terkabul.

Ustadz, mohon dijelaskan bagimana caranya agar doa itu dapat dikabulkan Allah swt?terima kasih...



Sesungguhnya Allah swt. akan selalu mengabulkan permintaan hamba-Nya yang berdo’a dengan sungguh-sungguh. “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan do’amu.” (QS. Al-Mu’min 40:60)

Pengabulan do’a ada yang cash (langsung/kontan). Misalnya, saat tahajud kita minta jodoh yang shaleh. Ternyata, siang harinya ada yang melamar dan besoknya menikah. Inilah do’a yang cash (kontan).

Ada juga do’a yang delayed (tertunda / ditangguhkan). Misalnya, hari ini kita berdo’a, tetapi dikabulkannya baru lima tahun kemudian. Inilah do’a yang delayed (ditangguhkan). Bahkan ada juga do’a yang pengabulannya tidak di dunia, tetapi menjadi deposito amal shaleh kita di akhirat. Ini juga merupakan bentuk pengabulan do’a yang delayed (ditangguhkan).

Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada seorang muslim yang menghadapkan mukanya kepada Allah untuk berdo’a, kecuali Allah akan mengabulkannya (memberikannya). Kadang-kadang, pengabulannya dipercepat (cash) dan kadang diperlambat/ditanggauhkan (delayed).” (HR. Ahmad dan Hakim)

Secara manusiawi, apabila permohonan kita tidak atau belum terkabulkan, kita merasa sumpek. Padahal, kemungkinan besar ini yang terbaik untuk kita.

Ingat, ilmu kita sangat terbatas, sementara ilmu Allah swt. Maha luas. “Bisa saja kamu membenci sesuatu padahal hal itu baik untuk kamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal hal itu buruk bagi kamu. Dan Allah-lah yang mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah 2:216) “Bisa saja kamu membenci sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa 4:19)

Prinsip-prinsip di atas harus dipegang teguh agar kita tidak berprasangka buruk kepada Allah swt. dan tidak putus asa dari rahmat dan karunia-Nya. Adapun trik agar do’a kita lebih berpeluang untuk dikabulkan adalah sebagai berikut,

1. Awali Do’a dengan Asmaul Husna.
“Allah mempunyai Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu…” (QS. Al-A’raf 7:180) Asmaul Husna artinya nama-nama Allah yang baik, seperti Ar-Rahman (Maha Pemurah), Al Hakiim (Maha Bijaksana), Ar-Rahiim (Maha Penyayang), Al Kariim (Maha Dermawan), Al ‘Aliim (Maha Mengetahui), dan lain-lain. Merujuk pada ayat ini, ketika kita akan meminta sesuatu pada Allah swt., maka awali dengan asmaul husna yang kita hafal, misalnya Ýa Rahmaan, Ya Rahiim, dan lain-lain. setelah itu baru kita berdo’a.

Berapa kali Asmaul Husna yang harus kita baca pada awal do’a ? Tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan jumlahnya. Jadi, baca saja semampu dan semau kita, sesuaikan dengan situasi dan kondisi. Namun, alangkah baiknya kalau Asmaul Husna yang kita baca itu ada korelasi (hubungan) dengan permintaan kita, misalnya kalau minta ilmu, awali dengan Ya ‘Aliim (WahaiYang Maha Tahu), Ya Hakiim (Wahai Yang Maha Bijaksana). Kalau minta ampun, kita awali dengan Ya Ghafuur (Wahai Yang Maha Pengampun), Ya Rahiim (Wahai Yang Maha Penyayang), dan lain-lain.

2. Ucapkan Kalimah Tauhid Setelah membaca Asamul Husna, lalu kita ucapkan Kalimah Tauhid, yaitu pernyataan yang mengekpresikan keimanan kita kepada Allah swt. Kita nyatakan bahwa Allah swt. itu Maha Tunggal, Maha Berkuasa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan lain-lain. Adapun Kalimah Tauhid yang sebaiknya kita baca saat berdo’a adalah sebagai berikut, [Allahumma inni as aluka bi anni asyhadu annaka antallahu laa ilaaha illa antal ahadu shamadul ladzi lam yalid wa lam yuulad wa lam yakun lahu kufuwan ahad ] “Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ya Allah, dengan bersaksi bahwa sesungguhnya Engkau adalah Allah Yang tiada Tuhan selain Engkau, Yang Maha Tunggal dan Yang menjadi tempatku bergantung, Yang tidah beranak dan tidak diperanakkan, serta tak ada yang menyamai-Mu seorang pun.” (H.R.Abu Daud, Tirmizdi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Hakim) [Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbaru, Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu, lahulmulku walahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syai-in qadiir, laa ilaaha illallaahu, walaa haula walaa quwwata illa billaah] “Tiada tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar, tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kerajaan dan milik-Nya pula segala puji, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan selain Allah dan tiada daya serta tak ada kekuatan selain dengan kekuatan yang datang dari Allah.” (H.R.Thabrany)

3. Iringi do’a dengan prasangka baik. Berdo’a harus diiringi dengan prasangka baik kepada Allah swt. bahwa Dia akan selalu mengabulkan do’a kita. Apabila do’a belum dikabulkan, kita harus yakin bahwa apa yang kita pinta mungkin menurut Allah swt. kurang baik, karena itulah Dia tidak mengabulkan permintaan kita, atau tanpa kita sadari Allah telah menggantinya dengah yang lebih baik.

Yakinlah, Allah swt. hanya akan mengabulkan permintaan yang sekiranya akan menjadi kebaikan untuk diri kita. “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Aku akan mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku selalu menyertainya apabila ia berdo’a kepada-Ku”. (H.R.Bukhari dan Muslim). Maksudnya, kalau kita menyangka Allah itu Maha Penyayang, maka Dia akan menyayangi kita. Kalau kita menyangka Allah itu akan mengabulkan do’a kita, maka Dia akan mengabulkannya selama yang kita mintakan itu akan menjadi kebaikan.

4. Berdo’a dengan hati yang mantap Allah akan mengabulkan do’a yang lahir dari hati yang sungguh-sungguh (mantap), karena itu bersungguh-sungguh dan optimislah bahwa do’a kita bakal dikabulkan-Nya. “Wahai manusia, jika kamu memohon kepada Allah ‘azza wa jalla, mohonlah langsung kehadirat-Nya dengan keyakinan yang penuh bahwa do’amu akan dikabulkan, karena Allah tidak akan mengabulkan do’a yang keluar dari hati yang lalai.” (H.R.Ahmad)

5. Berdo’a dengan kerendahan hati dan suara lembut Kebalikan dari rendah hati adalah sombong. Kalau kita ingin do’a kita dikabulkan, kikislah serta kuburlah sifat-sifat sombong atau takabur. Ketahuilah, Allah hanya akan mengabulkan do’a orang-orang yang rendah hati. “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf,7 : 55) Selain dengan rendah hati, berdo’a sebaiknya dilakukan dengan suara yang lembut, karena Allah itu maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Kita tidak perlu berdo’a dengan berteriak. Rasulullah saw. pernah menegur sejumlah shahabat yang berdo’a dengan berteiak-teriak, Sabda Nabi saw., “Hai Manusia, sesungguhnya Dzat yang kamu seru itu tidak tuli dan tidak jauh, sesungguhnya Tuhan yang kamu seru itu ada diantara kamu, bahkan diantara leher kamu !” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

6. Ulangi Permintaan Sebanyak tiga kali Saat berdo’a, Rasulullah saw., suka mengulanginya hingga tiga kali. “Nabi saw., apabila berdo’a, beliau mengulanginya tiga kali, dan apabila meminta, juga mengulanginya tiga kali.” (H.R.Muslim).

7. Iringi do’a dengan ikhtiar (usaha) Do’a dan ikhtiar bagaikan dua sisi dari satu mata uang. Keduanya saling melengkapi, tidak bisa dipisahkan. Kalau kita minta ilmu, barengi dengan belajar, minta harta, dampingi dengan usaha, minta sukses dalam karier, iringi dengan kerja keras, minta kesembuhan, ikuti dengan pengobatan, dan lain-lain. “…Bekerjalah (berusahalah) kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman akan melihat pekerjaan (ikhtiar)mu itu…” (QS. Attaubah 9:105)

Kesimpulannya, setiap do’a yang kita panjatkan pasti akan dikabulkan Allah swt. Adapun bentuk pengabulannya, ada yang langsung, ada pula yang di tangguhkan hingga beberapa bulan atau tahun, bahkan ada yang ditangguhkan sampai hari akhirat, menjadi deposito pahala di akhirat nanti. Agar do’a berpeluang dikabulkan, kita harus mengawalinya dengan Asmaul Husna, mengucapkan Kalimah Tauhid, berprasangka baik pada Allah, optimis, lakukan dengan rendah hati, ulangi beberapa kali, dan iringi dengan usaha. Wallahu A’lam
dari www.percikaniman.org

Hukum operasi Botox atau sedot lemak dalam Islam.

Untuk mempercantik diri, wanita zaman sekarang kerap melakukan operasi botox untuk mengencangkan kulit serta sedot lemak untuk menghilangkan timbunan lemak di beberapa bagian tubuh. Bagaimana hukum keduanya dalam Islam? Apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak? terima kasih...



“Saudara yang dirahmati Allah, Islam sangat menganjurkan keindahan, baik keindahan diri, keindahan lingkungan, dan lain sebagainya. Mempercantik diri merupakan bagian dari keindahan. Karena itu, mempercantik diri dianjurkan dalam Islam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah bersabda, “Allah itu indah, karenanya Allah mencintai keindahan.”

leftNamun demikian, setiap anjuran dan perintah dalam Islam senantiasa diikuti aturan dan batasan untuk menjaga agar tidak terjadi penyelewengan dalam pelaksanaannya. Demikian halnya dalam urusan mempercantik diri. Beberapa aturan dan batasan yang perlu diperhatikan antara lain:
1. Menjaga niat dan tujuan mempercantik diri. Jangan sampai hal tersebut digunakan untuk mencari popularitas, mencari keuntungan duniawi, dan lain sebagainya.
2. Menjaga etika Islam dalam pergaulan. Kecantikan hendaknya tidak melahirkan sikap egois dan mencemooh orang yang kurang atau tidak cantik.
3. Menghindari proses mempercantik diri yang dapat menyebabkannya terbukanya aurat.
4. Menghindari perkara-perkara yang dilarang dalam Islam, seperti menyambung rambut, memakai pakaian yang mencolok, menggunakan wangi-wangian yang menggoda, dan lain sebagainya.
5. Menghindari peralatan atau bahan yang terindikasi bercampur dengan bahan yang haram.
6. Mengutamakan kecantikan untuk menyenangkan suami.

Lantas bagaimana dengan upaya mempercantik diri dengan operasi botox untuk mengencangkan kulit atau sedot lemak untuk menjaga keindahan tubuh? Jawabannya kita kembalikan pada aturan dan prasyarat yang sudah saya sebutkan di atas. Jika ternyata ada bagian yang dilanggar, maka hal itu wajib dihindari. Hal ini ditujukan agar jangan sampai niat awal mencari kebaikan malahan mendatangkan dosa dan kemadharatan. Kalau memang operasi botox atau sedotan lemak tersebut tidak malanggar aturan tersebut di atas dan dilakukan atas dasar keterpaksaan karena kebutuhan medis, maka hal tersebut boleh dilakukan.

Perlu diingat, kecantikan tidak selalu diukur dari segi fisik. Tidak jarang ada orang yang tidak simpati kepada orang lain yang berparas cantik namun berperilaku buruk. Wallahu a’lam.

dari www.percikaniman.org

Kapankah sakit dianggap sebagai penghapus dosa.

Sakit itu bisa mengurangi dosa, tapi gimana jika sakitnya itu tidak melaksanakan shalat. Apakah masih berlaku?terima kasih..



Sakit sebagai penghapus dosa jika kita mendekatkan diri pada Allah. Misalnya: Orang sakit jadi rajin ibadah, memperbanyak doa maka dalam kedaan sakit yang demikian tersebut maka pantas bila sakitnya menjadi kaffarat atau penutup atau penghapus dosa. Tapi kalau dalam sakitnya, sholat ditinggalkan, berdoa tidak pernah, lalu apanya yang menjadi penghapus??

Kapan sakit itu menjadi penghapus dosa dan kapan sakit itu menjadi adzab? Semua itu tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Sakitnya sama, misal kanker otak. Si A menyikapinya dengan meningkatkan amal-amalan sholeh maka sakitnya adalah ujian dan penghapus dosa.

Sedangkan si B sholatnya jadi nggak pernah, berdoa jarang, banyak mengeluh alias meninggalkan ajaran agama. Ini baru namanya adzab.

Jadi apapun yang menimpa kita, apakah mau jadi adzab atau ujian. Tergantung diri kita dalam menyikapinya. Setiap muslim yang terkena duri, tapi jika ia bersabar maka ssakitnya akan menjadi penghapus dosa baginya.


Wallahu A'lamdari www.percikaniman.org

Menikahi wanita non-muslim.

Ustadz, saya jatuh cinta pada wanita nonmuslim.. Pernah terpikir untuk meninggalkannya, tapi saya telanjur cinta padanya. Bolehkah saya menikahinya? Mohon penjelasan..terima kasih..



Begini, Wanita nonmuslim itu ada dua kategori.
Pertama, Wanita ahli kitab, yaitu wanita yang beragama Kristen dan Yahudi.
Kedua, wanita musyrik yaitu wanita yang beragama selain Kristen dan Yahudi, misalnya beragama Hindu, Budha, Sinto, dll.Laki-laki muslim haram menikahi wanita musyrik. Perhatikan keterangan berikut.

وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ


“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mu’min sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Q.S. Al-Baqarah 2: 221).

Namun, laki-laki muslim halal menikahi wanita ahli Kitab yang baik-baik, sebagaimana dijelaskan secara eksplisit dalam ayat berikut.

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ


“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman, maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (Q.S. Al Maidah 5: 5)

Walau secara hukum halal, namun seorang lelaki muslim yang akan menikahi wanita Ahli Kitab (Kristen dan Yahudi) harus mempertimbangkannya secara matang, sebab harus ada target untuk mengislamkannya.

Sekiranya tidak akan mampu mengajak wanita tersebut ke pangkuan Islam, sebaiknya tidak menikahinya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ


“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-tahrim 66: 6).

/images/mapi/mapi-1-2010.jpg Rasulullah saw. menegaskan bahwa dalam pemilihan jodoh, yang harus jadi pertimbangan pokok adalah faktor agamanya. Perempuan dinikahi karena empat perkara, karena kecantikannya, karena keturunannya, karena hartanya, dan karena agamanya. Tetapi pilihlah yang beragama, agar selamatlah dirimu.” (H.R. Muslim).

Agama harus menjadi pertimbangan prioritas karena untuk membangun keluarga yang harmonis, suami dan isteri harus memiliki visi dan misi yang sama sehingga mereka bisa berjalan searah, saling melengkapi untuk sampai kepada satu muara, yaitu menuju keluarga yang dicintai dan diridoi Allah swt.

Ada satu hal lagi yang harus dipikirkan jika Anda menikahi wanita ahli kitab, yaitu masalah warisan.

Kalau salah seorang di antara mereka (suami-isteri yang berbeda agama) meninggal, maka tidak bisa saling mewarisi.
Dari Usamah bin Zaid r.a., Nabi saw bersabda: “Orang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi orang muslim.” (H.R. Muslim).

Kesimpulannya, laki-laki muslim haram menikahi wanita musyrik, sementara menikahi wanita ahli kitab (Kristen atau Yahudi) hukumnya halal. Walaupun halal, namun harus difikirkan secara matang, sebab seorang suami muslim wajib membawa isterinya yang nonmuslim untuk menjadi muslim.

Wallahu A’lam. dari www.percikaniman.org

Sudah benarkah ZAKAT saya??

Saya do'akan ustadz senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Ustadz, misalkan penghasilan saya Rp. 2.000.000/bulan, setiap saat saya mendapat gaji saya langsung potong 2.5% untuk zakat = Rp. 50,000. Saya berprinsip kalo dihitung pertahun khawatir terpakai dan tidak terbayar, dan saya tidak potong biaya kebutuhan karena kebutuhannya tidak tetap dan khawatir kurang bayar. Mohon penjelasannya, benarkah saya membayar zakat.?? Terima kasih..

Yang sahabat lakukan sudah benar dan memang lebih tepat untuk dilakukan. Sebab selain ada resiko akan habis terpakai semuanya, juga akan terasa berat bila di akhir tahun harus mengeluarkan 12 kali lipat dari Rp. 50 ribu itu.

Dan bila kita rujuk kepada dasar tasyri` zakat penghasilan ini, ulama umumnya banyak mengqiyaskannya dengan zakat hasil tanaman. Dimana tanaman itu dibayarkan zakatnya ketika panen dan tidak menunggu selama setahun dahulu (haul).

Firman Allah SWT :
”…Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)…” (QS Al An’am 141 )
Para ulama juga mengqiyaskan nishab zakat profesi dengan zakat tanaman, yaitu 5 wasaq atau setara dengan 652,8 kg gabah.

Rasulullah SAW bersabda:
”Tidak ada zakat pada hasil tanaman yang kurang dari lima wasaq” (HR Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad jayyid)
”Dan tidak ada zakat pada kurma yang kurang dari lima wasaq” (HR Muslim).

Penjelasan

1 wasaq = 60 sha’, 1sha’ = 2,176 kg, Maka 5 wasaq = 5 x 60 x 2,176 = 652,8 kg gabah.
Jika dijadikan beras sekitar 520 kg.
Wallahu A`lam Bish-shawab...dari www.percikaniman.org

Maksud MALU sebagian dari iman.

Seorang gadis yang anggun dan shalihah, secara fitrah akan merasa malu ketika bertemu dan berbicara dengan laki-laki



عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
[رواه البخاري ]

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ucapan kenabian yang pertama kali ditemui manusia adalah jika engkau tidak merasa malu, maka berbuatlah semaumu.” (HR. Bukhari. Shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Ahaditsul Anbiyaa’/3483/Fath])

Fiqhul Hadits (Kandungan Hadits)

1. Warisan Para Nabi

Rasa malu adalah sumber akhlak yang terpuji, juga merupakan pendorong untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Wajar jika ia merupakan peninggalan nabi-nabi terdahulu. Yang tidak terhapus sebagaimana beberapa syariat yang lain.

Lalu terpelihara secara turun temurun. Diwarisi para nabi dari zaman ke zaman hingga akhirnya sampai pada umat Islam. Jika rasa malu adalah warisan dari para nabi dan rasul, juga jelas-jelas disebutkan dalam Al Qur’an, maka kita wajib memelihara rasa malu yang telah diberikan Allah kepada kita. Menjadikannya sebagai akhlak, agar warisan para nabi tersebut tetap terpelihara dan menghiasi kehidupan.

2.    Pengertian Hadits

Terdapat tiga versi penjabaran, ketika mengertikan hadits di atas:

a.    Perintah, dalam hadits ini, menunjukkan ancaman. Seakan Rasulullah bersabda, “Jika kalian tidak memiliki rasa malu maka lakukanlah sekehendakmu, dan Allah swt akan memberimu siksa yang sedih. Perintah seperti ini juga terdapat dalam Al-Qur’an, “Berbuatlah sesuka hati kalian.” (QS.Fushilat : 41)

b.    Perintah, dalam hadits ini, berarti pemberitahuan. Seolah hadits di atas memberitakan bahwa jika seseorang tidak lagi memiliki rasa malu, ia akan melakukan apa saja. Karena yang bisa mencegah perbuatan keji adalah rasa malu. Tidak heran, jika rasa malu telah tiada, ia akan asyik dengan segala perbuatan keji dan munkar.

c.    Perintah, dalam hadits ini menunjukkan Ibahah (dibolehkan). Artinya, jika kalian tidak malu melakukan suatu perbuatan yang tidak dilarang oleh syara’ maka lakukanlah. Karena pada prinsipnya, sesuatu yang tidak dilarang oleh syara’ maka boleh dilakukan.

Namun demikian, yang paling shahih dari tiga pengertian di atas adalah pengertian pertama. Meskipun Imam Nawawi lebih memilih pengertian ketiga dan Ibnu Qutaibah memilih pengertian kedua.

3.    Dua Macam Rasa Malu

a.    Rasa malu pembawaan
Yaitu rasa malu yang sudah dibawa manusia sejak lahir. Rasa malu ini bisa membawa pemiliknya kepada akhlak yang mulia, yang diberikan Allah swt pada hamba-Nya. Jika rasa malu ini terus tumbuh dan berkembang maka seseorang tidak akan melakukan maksiat, perbuatan keji dan berbagai perilaku yang menunjukkan kerendahan akhlak.

Karena itu, rasa malu itu merupakan sumber kebaikan dan salah satu cabang dari keimanan. Rasulullah saw bersabda, “Rasa malu adalah cabang dari cabang-cabang keimanan.”

Rasulullah saw sendiri lebih pemalu daripada seorang gadis dalam pingitan.

Diriwayatkan bahwa Umar ra berkata, “Barangsiapa yang merasa malu maka akan bersembunyi. Barangsiapa yang bersembunyi maka akan berhati-hati dan barangsiapa yang berhati-hati, maka ia akan terjaga.”

b.    Rasa malu yang diperolah melalui usaha.
Yaitu rasa malu yang didapat seseorang setelah ia mengenal Allah swt., mengetahui keagungan-Nya, kedekatan-Nya terhadap hamba-Nya, bahwa Allah swt senantiasa mengawasi hamba-hamba-Nya dan bahwa Allah swt mengetahui apa yang tampak dan apa yang tersembunyi, sekalipun dalam hati.

Seorang muslim yang berusaha mendapatkan “rasa malu” ini, akan memperoleh keimanan dan sikap ihsan yang paling tinggi derajatnya.

4.    Rasa malu yang tercela

“Rasa malu” yang dapat menjadikan seseorang menghindari perbuatan keji adalah akhlak terpuji, karena akan menambah sempurnanya iman dan tidak mendatangkan satu perbuatan kecuali kebaikan. Namun, “rasa malu” yang berlebih-lebihan hingga membuat pemiliknya senantiasa dalam kekacauan dan kebingungan serta menahan diri untuk berbuat sesuatu yang sepatutnya tidak perlu malu untuk melakukannya, maka ini adalah akhlak yang tercela, karena ia merasa malu bukan pada tempatnya.

5.    Malu bagi Muslimah

Wanita muslimah dihiasi rasa malu. Mereka mendampingi laki-laki dalam menjalani kehidupan dan mendidik anak-anak dengan fitrah kewanitaan yang masih bersih. Hal ini sebagaimana diisyaratkan Allah swt dalam Al-Qur’an, ketika bercerita tentang salah satu putri Nabi Syu’aib yang diperintahkan untuk memanggil Nabi Musa,

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu, berjalan dengan malu-malu, ia berkata, “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” (QS.Al-Qashash :25)

Putri Syu’aib as berjalan dengan penuh rasa iffah (kebersihan jiwa) ketika bertemu seorang laki-laki. Berjalan dengan penuh rasa malu dan jauh dari usaha untuk menarik perhatian. Meskipun demikian, ia tetap mampu menguasai diri dan menyampaikan apa yang harus disampaikan dengan jelas. Inilah rasa malu yang bersumber dari fitrah yang suci.

Seorang gadis yang anggun dan shalihah, secara fitrah akan merasa malu ketika bertemu dan berbicara dengan laki-laki. Akan tetapi karena kesucian dan keistiqamahannya ia tidak gugup. Ia berbicara dengan jelas dan sebatas keperluan.

Adapun wanita yang senantiasa bersolak, pergi tanpa muhrim, bahkan bercampur baur dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, tanpa ada keperluan yang dibolehkan secara syar’i, maka wanita seperti ini jelas bukan hasil didikan Al-Qur’an ataupun Islam.

6.    Buah dari rasa malu

Rasa malu akan membuahkan Iffah (kesucian diri). Maka barangsiapa yang memiliki rasa malu, hingga dapat mengendalikan diri dari perbuatan buruk, berarti ia telah menjaga kesucian dirinya. Rasa malu juga akan membuahkan sifat Wafa’ (selalu menepati janji). Ahnaf Ibnu Qois berkata, “Dua hal yang tidak akan berpadu dalam siri seseorang: dusta dan harga diri. Sedangkan hargag diri akan melahirkan sifat Shidiq (berkata benar), wafa’, malu, dan iffah.

7.    Lawan dari Rasa Malu

Kebalikan dari rasa malu adalah rasa tidak tahu malu. Ini adalah sifat yang tercela, karena mendorong pemiliknya untuk melakukan kejahatan, tidak peduli dengan segala cercaan, hingga ia melakukan semua kejahatannya dengan terang-terangan.

Rasulullah saw bersabda, “Semua hambaku akan dimaafkan, kecuali orang yang melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan.”

Orang yang tidak memiliki rasa malu kepada Allah swt dan kepada sesama manusia, tidak akan jera dari melakukan kejahatannya kecuali dengan hukuman yang tegas dan keras. Karena, ada sebagian orang yang memiliki rasa takut dan tidak memiliki rasa malu.

8.    Tugas Orang Tua dan Para Pendidik

Orang tua dan para pendidik berkewajiban untuk menanamkan rasa malu secara sungguh-sungguh. Untuk itu, hendaknya mereka menggunakan berbagai metode pendidikan yang baik, seperti mengawasi perilaku anak-anak dan segera meluruskan jika melihat perbuatan yang bertentangan dengan rasa malu, memilihkan teman bermain yang baik, memilihkan buku-buku yang bermanfaat, menjauhkan dari berbagai tontonan yang merusak, dan menjauhkan dari omongan yang tidak baik.

9.    Rasa malu adalah kebaikan.

Jadi, semakin tebal rasa malu yang dimiliki, maka semakin banyak kebaikannya, dan semakin sedikit rasa malu yang dimiliki, maka semakin sedikit kebaikannya.

10.    Dilarang MALU untuk Kebenaran

Tidak perlu ada rasa malu, saat mengajarkan masalah-masalah agama dan saat mencari kebenaran. Allah swt berfirman, “Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (Al-Ahzab : 53).


Referensi : Al Wafi    dari www.percikaniman.org

Menghadiri Undangan Selamatan.

Ustadz, bagaimana hukumnya menghadiri undangan selamatan kelahiran bayi 40 hari? Dan Bolehkah kita memakan hidangannya? Terima kasih..



Pada dasarnya seorang muslim wajib memenuhi undangan sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut.

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw., “Kewajiban seorang muslim terhadap muslim lainnya ada 6, di antaranya: Apabila bertemu, ucapkanlah salam, dan apabila kamu diundang, maka hadirilah undangannya, …” (H.R. Muslim)

Hadits ini tidak menyebutkan bentuk undangan yang harus dihadiri, apapun bentuknya boleh dihadiri; baik undangan pernikahan, syukuran, khitanan, dan lain-lain.

Namun, walaupun keterangan di atas tidak menyebutkan bentuk undangan yang wajib dihadiri, bukan berarti semua undangan boleh atau wajib dihadiri. Tentu saja memenuhi undangan yang mengandung unsur dosa dan maksiat hukumnya haram. Hal ini berdasarkan pada firman Allah swt.,

“. . . Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al Maidah 5: 2)

Sekarang kita cermati, apakah selamatan kelahiran bayi 40 hari itu mengandung unsur-unsur yang haram atau tidak? Kalau dalam selamatan tersebut ada ritual agama orang lain yang dicampuradukkan dengan ajaran Islam, maka menghadiri selamatan tersebut hukumnya haram.

Tapi kalau dalam selamatan tersebut tidak mengandung hal-hal yang haram --malah mengandung unsur-unsur amal saleh--, misalnya ada ceramah, menyantuni fakir miskin, dll., menghadiri selamatan tersebut menjadi boleh bahkan wajib.

Lalu, bagaimana hukum memakan hidangan yang disajikan dalam selamatan tersebut? Itu tergantung selamatannya. Kalau selamatannya tidak mengandung unsur dosa, bahkan mengandung unsur-unsur amal saleh, hukum memakan makanan dalam selamatan tersebut adalah halal. Tapi kalau dalam selamatan tersebut ada unsur yang haram seperti mencampuradukkan ritual agama lain dengan agama Islam, memakan makanan dalam selamatan itu menjadi haram, karena dengan menyantap hidangannya berarti kita sudah menyetujui kemunkaran.

Padahal, kita disuruh menegakkan amar ma’ruf dan nahyi munkar. Kesimpulannya, menghadiri undangan dari sesama muslim hukumnya wajib selama acara dalam undangan tersebut tidak mengandung unsur dosa dan maksiat. Namun, kalau mengandung unsur dosa dan maksiat maka hukumnya menjadi haram. Menyantap makanan dalam undangan yang tidak mengandung unsur dosa hukumnya halal, sementara menyantap makanan dalam undangan yang mengandung unsur maksiat hukumnya haram karena hal itu berarti menyetujui kemunkaran, padahal setiap muslim wajib menolak kemunkaran. Wallahu A’lam. 
dari www.percikaniman.org

Tentang membaca usholli sebelum sholat.

Ustadz, bagaimana hukumnya membaca ushalli ketika mau shalat? Mohon penjelasan disertai dalilnya?? Terima kasih.



Niat ketika mau shalat merupakan suatu keharusan. Jika kita akan melakukan aktivitas apapun, hendaklah ber-niat terlebih dahulu.

Umar bin Khattab r.a. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw., bersabda, “Sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal, tergantung pada niat….” (H.R. Bukhari dan muslim).

Para ulama, meletakkan niat sebagai rukun pertama dalam semua ibadah. Bahkan, yang menjadi pembeda antara ibadah dengan adat adalah niat. Sesuatu perbuatan biasa, tetapi kalau diniatkan untuk ibadah, maka ia berubah menjadi ibadah.

Adapun pembacaan ushalli –“Ushalli fardla zuhri…..”, “Ushalli fardla ashri…” dan seterusnya—yang diucapkan ketika mulai melakukan Shalat, tidak berdasarkan dalil. Rasulullah saw. Bila memulai shalat langsung menghadap kiblat kemudian takbiratul ihram dan tidak pernah membaca ushalli terlebih dahulu.

Ali bin Abi Thalib r.a. berkata : Sesungguhnya Rasulullah Saw pernah bersabda: Kunci (syarat) shalat adalah bersuci, pembukanya Takbir dan penutupnya Salam.” (HR.AS.Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah Dan Tirmidzi).

Setelah takbiratul ihram, dilanjutkan dengan memaca doa iftitah, membaca a’udzubillah, membaca Fatihah pada setiap raka’at, membaca amin, membaca surat yang hapal setelah surat Al Fatihah kemudian Ruku, Sujud, Tahiyyat, dan diakhiri dengan salam.

Jadi, membaca Ushalli ketika mulai Shalat tidak ada contoh dari Rasul saw. Rasulullah saw bersabda, “Shalatlah seperti kalian melihat aku shalat”. Rasulullah adalah tauladan bagi muslim yang ingin mendapat cinta Allah. “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al Ahzab 33 :21).

Bukti cinta kepada Allah adalah mengisi kehidupan dengan berbagai aktivitas yang didasari niat yang tulus ikhlas hanya untuk mengabdi kepada Allah dengan mengikuti aturan Rasulullah saw. “Katakanlah, ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali-Imran 3: 31.)

Persoalan Niat, apakah harus diucapkan atau cukup di dalam hati? Para ulama berbeda pendapat; ada yang mengatakan harus diucapkan dan banyak para ulama yang sepakat bahwa niat itu tempatnya di hati alias tidak perlu diucapkan. Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi melihat atau memperhatikan niat dan keikhlasan dalam hatimu.” (H.R. Muslim).

Kesimpulannya, tanpa mengurangi rasa hormat kepada saudara-sauadara kita yang suka membaca ushalli saat mau shalat, bisa ditegaskan bahwa tidak ada satu pun dalil yang menjelaskan Rasulullah saw. memulai shalatnya dengan bacaan ushalli. Namun, tentu saja setiap aktivitas yang baik harus pakai niat. Niatnya tidak perlu dilafazkan, cukup dalam hati saja. Kita harus menjadikan Rasulullah sebagai teladan dalam beribadah, baik ibadah vertikal maupun horisontal. Wallahu A’lam

http://photos-b.ak.fbcdn.net/photos-ak-snc1/v4408/41/48/1669316176/a1669316176_87057_4554026.jpgdari www.percikaniman.org

Jika Saudara kita Murtad dan tak mau bertobat.

Ustadz....bagaimana jika kita mempunyai saudara yang murtad dan tak mau bertobat?? Terima kasih.

/images/mapi/mapi-1-2010.jpg Bila segala upaya yang telah dilakukan keluarga dan saudara-saudara sudah maksimal namun tetap murtad. Maka itu sudah menjadi amalan yang bersangkutan.

Tugas keluarga sudah selesai dan insyaAllah tidak akan dimintai pertanggungjawaban lagi kelak.

Jangankan kita sebagai manusia biasa, Nabi Muhammad SAW pembawa wahyu yang bertugas memberi petunjuk jalan kebenaran saja tidak akan mempertanggungjawabkan amalan buruk seseorang.

Wilayah kita sebagai manusia adalah ikhtiar dan keberhasilan menjadi wilayah Allah semata.

إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِين

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS.28:56)

dari www.percikaniman.org

Bersedekah dengan mengharapkan pahala berlipat.

Ust.. apakah boleh jika kita berzakat/berinfak/bersedekah, berharap bahwa Allah mengganti harta yang kita keluarkan jadi berlipat? Misalnya : Saya berinfak 10 ribu rupiah, dan berharap semoga Allah mengganti dengan 100 ribu rupiah, karena merujuk kepada QS.6 ayat 100 : Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya. Terima kasih.



Sudah menjadi kecenderungannya, manusia amat mencintai materi atau harta yang menjadi miliknya. Di saat lapang saja ia demikian, terlebih lagi di saat sempit. Padahal Islam senantiasa menganjurkan ummatnya untuk bersedekah di saat sulit sekalipun. Begitupun sudah menjadi kecenderungan bagi manusia, bahwa ketika bersedekah maka suka ada harapan agar Allah memberikan pahala yang berlipat.

Ada beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan dalam bersedekah/berinfak :

1.    Bersedekah dengan niat mengharapkan ridho Allah swt
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. (Q.S. 2 : Al Baqarah : 265)

2.    Pahala orang yang bersedekah/berinfak nilainya berlipat disisi Allah swt
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. 2 : Al Baqarah : 261)

Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat gandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak. (Q.S. 57 : Al Hadid : 18)

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. 2 : Al Baqarah : 274)

3.    Tidak sombong (melukai perasaan si penerima) dan riya (ingin di puji oleh orang lain)
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Q.S. 2 : Al Baqarah : 262)

4.    Bersedekah/berinfak secara proporsional/seimbang
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta)/berinfak, mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Q.S. 25 : Al Furqon : 67)

dari www.percikaniman.org

Bagaimana kewajiban sholat ketika koma

Ustadz.. saudara saya sakit keras karena gagal ginjal, selama kurang lebih satu minggu beliau koma tak sadarkan diri, dan alhamdulillah sekarang sudah sadar, bagaimana dengan kewajibannya sholatnya ? Terima kasih.



Shalat diwajibkan kepada setiap muslim yang mukallaf, yakni yang telah baligh dan berakal. Adapun orang yang belum baligh dan tidak berakal gugurlah darinya kewajiban tersebut. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :



رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ


"Diangkat kewajiban/hukum dari tiga golongan : orang yang tidur/pingsan sampai ia bangun/sadar, orang gila (sakit ingatan) sampai kembali akalnya atau sadar, dan anak kecil hingga ia besar/baligh.” (H.R. Abu Dawud)

Dengan demikian orang yang tidur dan pingsan, orang gila, dan anak kecil, tidak dibebankan kewajiban shalat atas mereka sampai hilang penghalang yang ada. Yakni orang yang tertidur telah bangun dari tidurnya, orang yang pingsan telah siuman dari pingsannya, orang gila telah pulih dari sakit gilanya atau telah kembali akalnya, sedangkan anak kecil telah datang masa balighnya, di antaranya dengan tanda mimpi basah (keluar mani) bagi anak laki-laki dan haidh bagi anak perempuan.

Berkaitan dengan kasus saudara Anda, maka orang yang koma/tidak sadarkan diri maka terbebas/gugur dari kewajiban melaksanakan Sholat, setelah sadar maka punya kewajiban melaksanakan sholat, sedangkan kewajiban sholat satu minggu selama koma tidak perlu diganti.

wallahu a'lam bishawab dari www.percikaniman.org

images/banner/banner-tpfpi-2009.jpg

Masuk Islam lagi demi menjadi wali nikah.

Ustadz, Kedua orangtua saya bercerai sejak saya kecil, mereka berbeda agama dimana Ibu saya Islam. Ayah masuk Islam ketika ingin menikahi ibu, namun setelah menikah kembali ke agamanya semula.

Kini dia berniat masuk Islam lagi demi menjadi wali nikah saya. Apakah boleh saya cuek kepada ayah saya yang mengaku Islam tapi tidak solat dan member nafkah kepada ibu dan anak2 semenjak bercerai? Sahkah wali nikah saya? Terima kasih.




Begini,orang itu masuk Islam kebanyakan karena 2 hal, datang dari hati atau digunakan sebagai kedok. Yang masuk Islam sebagai kedok ini adalah ciri orang munafik dimana dia menyembunyikan kekafirannya dan menampakkan kebaikan.

Karena melihat pengalaman tidak konsistennya pendirian ayah anda, sebaiknya untuk urusan nikah anda diskusikan dengan KUA agar dapat dinikahkan oleh wali hakim.

Wajar anda bersikap cuek pada ayah, namun ingatlah bahwa dia tetap saja ayah kandung Anda, doakan beliau selalu agar dibukakan pintu hatinya oleh Allah SWT.

dari www.percikaniman.org